Rabu, 22 Januari 2014

Sepotong Hati yang Baru (Bukan Tere Liye)

Masih sore. Cafe kopi langganannya sepi. Ini kali pertama aku kesini. Sejak janji setahun silam mengajakku kesini terlupakan oleh ingatanku. Lama aku menunggu. Bermain kertas yang sengaja kuambil dalam tas. Struck pembayaran di indomart. Ia belum juga muncul. Aku mulai putus asa. Kuputuskan untuk memesan sesuatu, entahlah, ini kali pertamanya, aku bingung dengan menu-menunya.

"Terserah.. yang dingin tapi gak terlalu manis aja ya mas, saya ga begitu tau". Kalimat polos itu terlontar begitu saja. Ditambah hatiku yang mulai gusar menunggu. Takut kecewa.

"Milkshake?".

"Ya.. boleh..".

Sepuluh menit pesanan datang, gelasnya bergetar, yang mengantar mungkin pelayan baru, jadi gerogi.

"Terimakasih". Aku langsung mengaduk segelas milkshake dihadapanku dan membiarkan pelayan itu kembali.

Ia masih berdiri. Aku mendongak sembari menyeruput seruputan yang pertama. Aku tersedak. Dia yang datang, bukan pelayan. Wajahnya tampak panik melihatku terbatuk-batuk tersedak. Aku mengisyaratkan dengan tanganku 'tidak apa-apa'. Lalu perlahan ia duduk dihadapanku. Persis dihadapanku. Pengunjung mulai ramai berdatangan. Cekakak cekikik. Banyak juga ternyata.

Lima menit cuma diam. Sesekali aku menengok samping kanan kiri, menyeruput milkshake dan sekali melihat kesibukannya bermain jari.

"Apa kabar?". Aku yang biasanya diam sampai dia bicara akhirnya memberanikan diri memecah keheningan.

"Baik.. kau?".

Aku mengangguk pelan. Mencoba lebih tenang. Sok tenang. Rasanya jantungku seperti dikocok. Jariku gemetar tak karuan. Aku mengalihkannya dengan sesekali menggenggam tanganku sendiri.

"Bagaimana kabar ibu?". Dia masih terlihat gugup. Tapi masih seperti biasa, sok tenang.

"Baik.. semuanya baik.. bapak ibu gimana? Sehat?".

"Sehat..". Ia menelan ludah. Kopi pesanannya datang bersama segelas air putih.

Bapak. Ah! Mungkin membuatnya hampir tersedak. Biar saja.

"Sibuk apa sekarang?".

"Aku? Emm.. masih sama seperti dulu, bedanya sekarang sudah di kantor". Aku menjawab berusaha tenang.

"Masih suka ke alun-alun kota? Duduk di masjid atau sekedar kupat glabed di lapangan?". Dia bertanya panjang.

Aku menghela nafas. Tersenyum getir. "Sejak setahun yang lalu. Saat tiba-tiba ada yang pergi tanpa memberikan penjelasan apapun, karena kata seorang pujangga amatiran; penjelasan janganlah diburu-buru. Ya. Aku jadi enggan meminta banyak penjelasan. Lagi-lagi kata pujangga amatiran itu lagi dan mungkin itu benar; ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Kau pergi, dan bahkan kau membawa lebih dari separuh hatiku".

Ia menunduk. "Maafkan aku...".

Sejak setahun yang lalu ketika terjadi banyak kejadian yang melibatkan orangtua kami. Aku bertanya. Puluhan bahkan ratusan pertanyaan. Tapi tak pernah ada jawaban. Laki-laki yang aku tunggu justru pergi. Entahlah. Pergi begitu saja. Meninggalkan banyak kenangan yang sulit dilupakan. Meninggalkan banyak mimpi yang belum sempat terwujud. Siapalah aku? Hanya wanita yang menunggu. Bersabar. Dan ditinggalkan. Tanpa sepatah katapun. Namun bodohnya, tidak sekalipun berfikir bahwa laki-laki itu seorang yang jahat dan begitu tega. Entahlah, ini perasaan apa namanya. Aku menerimanya apa adanya. Semua perlakuannya. Seburuk apapun itu. Iya. Aku ini bodoh. Namun hati teman, hati selalu menolak, menolak kejahatan, karena jika memang cinta, takkan ada sekalipun rasa menyesal, takkan ada terbesit balas dendam.

"Kau tahu? Aku melewati minggu-minggu, bulan-bulan yang menyedihkan. Dan lebih menyedihkannya lagi, aku tidak pernah tahu mengapa kau tiba-tiba pergi. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin pada semua yang terjadi. Seperti mimpi. Seperti ada penjelasan yang belum tuntas. Mungkin saja. Ah, bahkan satu penjelasanpun tidak pernah kudengar. Berbulan-bulan aku berkutat dalam kesedihan. Mendendangkan lagu-lagu patah hati. Membaca buku-buku roman happy ending untuk membesarkan hatiku. Dan sesekali menulis cerita, cerita yang tidak jauh dari apa yang kualami. Hidupku jalan ditempat".

Ia mendongakkan kepala. "Maafkan aku.." Suaranya lirih.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan". Aku mendongak keluar. Kami kebetulan duduk dilantai dua, dekat jendela. Menatap pohon kelapa yang menjulang didepan cafe. Menatap meja-meja yang masih kosong. Sesekali melihat disebrang ada beberapa pasangan dalam satu meja yang cekakak cekikik. Anak SMA. Anak SMA sudah doyan kopi. Haha.

"Kau tahu, ditengah kesedihan yang kata beberapa teman itu sebuah kebodohan, aku akhirnya berfikir bahwa aku tak akan bisa melanjutkan hidupku dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak. Sangat rusak. Tak utuh lagi. Maka aku berjanji membuat hati yang baru. Ya, yang benar-benar baru.".

Hening sejenak.

"Apakah dihati yang baru itu masih tersisa namaku?". Ia bertanya. Melawan segala gengsinya selama ini. Lihat, matanya sayu.

Aku diam. Menatap daun-daun kelapa bergelantungan. Menatap sekitar. Menikmati musik jazz yang sejak sepuluh menit lalu diputar.

Sejak setahun yang lalu. Aku tidak pernah menduga. Kesedihan yang berlangsung lama. Merusak segalanya. Yang akhirnya berakhir dengan kebangkitan. Menyingkirkan dengan tega segala kenangan yang terjadi. Menyingkirkan dengan tega kerinduan yang datang setiap waktu. Membuat bathinku seperti gelap. Tak ada gairah hidup. Tiba-tiba malam tadi ia menelepon dengan suara tersendat. Meminta pertemuan sore ini.

Aku sungguh tidak habis berfikir. Apa yang akan terjadi. Sekian lama kita mengenal, tak pernah ada hari seperti hari ini. Tak pernah ada kesempatan aku bicara seleluasa tadi. Membahas perasaanku yang selama ini ia abaikan, tak mau dengar, tak mau bahas, ini dan itu. Ya Tuhan, hal apa yang akan terjadi?

"Aku kembali..". Suaranya dikalahkan musik jazz yang berganti regea itu. Aku dengar. Tapi tanpa komentar.

"Apakah masih tersisa namaku dihati yang baru itu?". Ia kembali bertanya.

"Kau tahu? Aku berjanji membuat hati yang benar-benar baru". Aku menghela nafas. "Aku telah menikah. Bukan dengan seseorang yang sungguh-sungguh aku cintai, aku inginkan. Namun setidaknya, dia mampu memberikanku sepotong hati yang baru. Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami." Aku menelan ludah. Menunjukkan jari manis tangan kananku.

Hening sejenak. Ia mematung.

Ia menghela nafas. Dadanya terlihat naik turun. Wajahnya sendu. Pelan-pelan mengangguk.

"Terimakasih sudah mau datang.. Aku duluan." Ia berkata lirih.

"Iya.. hati-hati.."

Ia berjalan menuju kasir. Membayar. Aku masih duduk. Menatap punggungnya lamat-lamat. Perawakannya masih gagah seperti dulu.

Maafkan aku, lelaki tersayang. Aku berbisik pelan menatap langit-langit cafe. Melepas cincin. Ini bukan cincin pernikahan. Tapi cincin pemberian Nenek saat aku wisuda dua tahun yang lalu. Aku belum menikah. Aku selalu mengharap kau kembali. Selalu. Setiap detik aku berharap. Hingga detik ini. Hingga punggungmu hilang dari penglihatanku. Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi, dengan tega aku berdoa agar tidak ada wanita untukmu selain aku.

Tetapi sore ini, ketika melihat wajah sendumu. Aku sadar. Jika kau memahami cinta adalah perasaan irasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga. Aku takut kembali sakit. Sudah lama aku meyusun kepingan hatiku yang rusak. Luluh lantah.

Aih! Apa sebenarnya yang baru aku katakan? Apa yang sebenarnya aku inginkan?

Benar.. ikut pepatah mengatakan, "patah hati tapi harus tetap sombong, patah hati tapi keren.."

(Ada lah kalimat-kalimat yang nyukil di novelnya Bang Tere Liye, dikit aja, hehe)

***tidak setuju dengan ending cerita ini (tepok bathuk) :'D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar