Sepupu ukhti Dina, putri sulung dari budhe katanya. Ia calon guru.
Namanya Riyana, biasa di panggil mbak Riri. Mahasiswi di UIN Jakarta
semester 7. Dia kakak kelasku... Dan subhanallah kami akrab.
Orangnya
mungil, cantik lagi. Cantiknya dari dalam lho, katanya salah satu
rahasianya ada di air putih yang ia minum secara teratur, kurang lebih 2
liter per hari.
Kami satu wisma, satu kamar pula. Ya. Tadinya
mbak Riyana satu kamar dengan ukhti Dina, dan alhamdulillah ukhti Dina
mendapat beasiswa ke Mesir. Jadi aku yang memang lagi cari kamar baru,
eh mendaratlah aku di kamar mungil ini.
Malam itu ku rasa kondisi
bathin mbak Riyana tengah terguncang.
"Aku bingung Lin...
Kadang
aku menyesali takdirku, mengapa harus tidak lebih awal aku
lahir.hehe...
Saat kuliah akhir semester satu dulu aku mengikuti
bedah buku Cinta Apa Nafsu, karya mbak Afifah Afra. Tanpa di sangka aku
diminta jadi moderator dadakan. Lho kok bisa ya Lin, kenapa?? Kamu pasti
kaget Lin. Aku lebih-lebih.
Ceritanya, sang moderator terkena
musibah di perjalanan. Innalillahi.. Dompetnya kecopetan, eh tangannya
juga kena pisau si pencopet. Sebagian dari panitia menyusul ke rumah
sakit. Sebagian lagi di aula tempat seminar. Membujukku tentu, agar mau
jadi moderator. Salah satu di antara sekian banyak panitia, ada yang
satu kelas denganku, tentu kenal, dan tau aku agak pinter ngomong. Aku
bisa gugup, tanpa persiapan. Gak mau malu-maluin diri sendiri ah.
Eh,
ketua panitianya datang langsung meminta tolong, kasihan Lin kayaknya
dia memang kebingungan.
"saya tidak memaksa, ukhti.. jika pun saya
yang harus jadi moderator, tidak apa-apa. Hanya saja, saya
mempertimbangan mbak Afifah Afra nya, beliau akhwat. Apa pantas
bersanding dengan saya, berdua di depan audience yang tidak sedikit
jumlahnya. Saya rasa, kami akan sama-sama kagok." terangnya.
Ok.
Akhirnya setelah lobi yang agak lama, aku mengiyakan. Udah deh,
alhamdulillah akhirnya berjalan dengan lancar, gak sia-sia juga. Aku
seneng bisa bantu. Dan setelahnya dari seminar, ya kami jadi kenal. Dia
beda fakultas sih, aku keguruan, sedangkan dia di D3 Akuntansi. Dua
tahun lebih tua dariku. Saat aku menginjak awal semester 3, ia lulus.
Singkat
cerita ajah deh ya Lin, ada perasaan yang menyusup di hati. Memang,
kuakui dari sejak seminar itu. Wew! ini cinta apa nafsu yah Lin?hehe...
Dia
kerja di luar kota hingga sekarang. Eh, di suatu hari yang cerah di
pertengahan semester 4, angin sepoi-sepoi. Hehe,,
Pak pos datang,
membawa surat.
Nurul Hilal
Jl. Apel I No. 13 Jajar, Laweyan,
Surakarta
Aku deg-degan Lin, langsung.Pelan-pelan ku buka. Inti
dari suratnya, mas Nurul meminangku Lin. Ya Allah, aku lemes. Deg-degan.
Seneng.
Istikharoh cinta, aku di beri waktu satu bulan, tapi jika
dua/tiga minggu sudah cukup, aku di minta membalas suratnya. Sebelumnya
ku sampaikan pula pada Umi. Alhamdulillah, responnya bagus. Umi sangat
antusias.
Tiap malam menjelang istirahat, aku shalat dua rakaat.
Ku serahkan pilihan terbaik untukku menurutNya. Istikharohnya kudu
netral Lin, gak boleh ada unsur yang mendukung diantara menerima atau
tidak. Itu pesan dari Umi.
Dua minggu pertama, aku merasa yakin.
Tapi Umi bilang, yakinkan lagi. Ya sudah.
Minggu ketiga,
Kok
ragu ya? Kok jadi bingung ya?
Ternyata Abah tidak merestui Lin.
Umi
coba bicara dengan beliau, dan Abah mengatakan tidak. Sekali tidak
tetap tidak. Keras memang.
Masih kuliah.
Abah memang bukan orang
yang terlalu mempertimbangkan masalah pendidikan, atau pekerjaan untuk
jadi pendamping putrinya. Paling tidak, bisa membimbing, bisa makan
untuk sehari-hari lah dan halal, urusan agama sudah jelas jadi no.1.
Orangnya harus baik, sayang padaku dan keluarga. Namun ya itu tadi,
alasannya hanya satu. Aku masih kuliah. Semester 4 lagi. Katanya masih
muda sekali.
Nurut tha Lin?
Umi sudah antusias, tapi Abah
tidak. Percuma Lin.
Umi menawarkan bagaimana jika untuk tunangan
dulu, menikahnya setelah wisuda, atau di semester akhir. Aku langsung
menolak alternatif yang Umi berikan. Bukan aku tak cinta. Bukan!
Namun
jaraknya terlalu lama. Akan lebih banyak mudharatnya. Prinsipku gitu
Lin, jarak khitbah ke pernikahan ya jangan terlalu lama. Ini masalah
hati sih Lin. Setan itu masuknya gak pake pamit lho..
Minggu ke
empat, aku semakin bingung. Mau pilih yang mana? Di hasil istikharoh dua
minggu pertama, atau diminggu ke tiga???
Ya Allah, tuntun
hatiku..
Assalamu'alikumAkhi.
Bismillah,
dengang mengharap ridha Allah
Saya kembalikan pinangan
akhi. Afwan.
Wassalamu'alaikum
Jauh-jauh, dari
Tegal ke Surakarta, cuma gitu tok yang aku tulis. Saat itu lagi libur
semesteran, jadi aku ngirim suratnya dari rumah. To the poin. Singkat,
padat dan jelas. Bukan masalah ongkos kirim atau harga perangko, tapi
nulis segitu aja udah nangis, mengharu biru, apalagi satu folio? Bisa
oedem nih mataku. Dan itupun menghabiskan banyak kertas karena
tulisannya luntur kena airmata. Hiks..
Aku dihadapkan pada dua
pilihan, antara patuh dan cinta.
Abah, durhakalah aku jika dalam
diriku tak kau temui maumu. Abah sayang, Riyana hanya ingin patuh
padamu. Riyana ikut maumu saja.
Antara patuh dan cinta.
Aku
bingung Lin, aku berusaha ikhlas. Ya, aku ikhlas.
Eh... Tak lama
kemudian hatiku berbisik, "Riyana, kamu itu gak ikhlas! Gak ikhlas!"
Aku
memilih untuk pergi tak mendengarkan suara hatiku itu Lin, dan
berteriak; "hei hati kecilku!!! Aku tidak tau apa itu ikhlas! Huh!"
Mas
Nurul... Cintaku padamu mampu terkalahkan oleh usaha patuhnya putri
terhadap ayahnya. Tanpa restu beliau aku takkan melangkah.
Ini
hanya masalah waktu. Mungkin belum jodoh. Hm... Aku juga tau Lin, mas
Nurul tidak mungkin mau lama-lama membujang. Apalagi menungguku?
Mustahil. Lagi pula, aku tidak rela jika ia mati dalam keadaan
membujang. Bukannya mendoakan, namun yang namanya mati juga datangnya
gak pamit, ya kan Lin?
Ketika ia tersenyum bahagia, aku juga
bahagia. Meski aku tak tau, apakah aku atau bukan aku yang membuatnya
tersenyum.
Tidak ada kekhawatiran jika membaca Q.S An Nur ayat
26.. Wanita yang baik ya untuk laki-laki yang baik, dan sebaliknya.
Ia
akan dapat yang terbaik baginya dan bagi Allah. Begitu juga dengan aku,
aku akan mendapatkan yang terbaik bagiku dan bagiNya." jelas mbak Riri
panjang lebar.
...............................................................................................................................................................
Aku diam, teringat dulu cerita ukhti Dina saat kami
bergerombol di taman kota. Sama persis.
Mbak Riri menunduk lama.
Lama sekali.
"mbak?... mbak Riyana?..." Panggilku. Mbak Riyana
tetap diam sembari menunduk.
Tiba-tiba ia tergeletak dengan darah
yang mengalir melalui lubang hidungnya. Aku segera keluar mencari
bantuan. Malam itu malam minggu, banyak dari kami yang pergi sekedar
refreshing. Aku baru sadar, kami hanya berdua. Ada becak, aku berteriak
memanggilnya.
...
Perjalanan ke Rumah Sakit, mbak Riyana
belum juga sadar. Sementara darahnya terus keluar.
Akhirnya, kami
sampai di Rumah Sakit. Aku lari ke IGD,
"suster, tolong kakak
saya..tolong.." teriakku setelah tiba-tiba masuk tanpa permisi. Mereka
awalnya bingung, tapi kemudian segera keluar membawa brankar.
Setelah
mendapat pertolongan pertama. Tangan kirinya terpasang selang infus
yang terhubung beserta flabotnya.
Mbak Riyana di pindah ke ruang
perawatan, kenanga no. 5.
"mbak keluarganya?" tanya seorang
perawat.
"saya Lina. Kami satu kamar di kos mbak" jawabku masih
terbata-bata.
"mbak bisa hubungi keluarganya?"
Aku bingung.
Selama ini mbak Riyana selalu melarang aku menghubungi keluarganya saat
ia kambuh. Aku bingung!
"ini penting lho mbak, kami butuh
keluarganya. Saya rasa pasien juga demikian."
Tanpa pikir panjang,
aku segera menelfon Pak Mumtaz dan mengabarkan apa adanya kondisi mbak
Riyana.
Malam itu aku tidur di samping kanan mbak Riyana
berbaring. Dan paginya aku ijin dari perkuliahan.
Kira-kira pukul
11.30 wib, bapak dan ibu Mumtaz datang dari kampung. Subhanallah. Mereka
membuat airmataku mengalir...
Sore itu, ibu Mumtaz memintaku
mengantarnya ke toko buah. Sementara pak Mumtaz standby di kamar mbak
Riyana, alhamdulillah sudah siuman.
"kata dokter Riyana terkena
leukimia. Ibu tidak menyangka nduk..."
pernyataan ibu Mumtaz
membuatku lemas. Astaghfirulah mbak Riyanaku terkena leukimia??
Dua
hari berlalu, mbak Riyana sudah diijinkan pulang. Setelah satu hari
pulang Umi dan Abahnya pulang ke kampung.
"cah ayu, ibu sama bapak
pulang dulu.. Jaga mbak Riyana yah?" ujar ibu Mumtaz padaku,
"Umi,
Abah... Riyana baik-baik saja kok, jangan khawatir.." tutur mbak
Riyana. Kemudian kami mengantar hanya sampai di depan stasiun.
...
Dua
minggu berlalu, ada pak pos datang membawa surat untuk mbak Riyana.
Kebetulan aku yang tanda tangan bukti penerima. Ku lihat pengirimnya,
tidak asing bagiku.
Setelah ku serahkan amplop warna putih itu,
mbak Riyana mulai membacanya. Kurang lebih 10 menit berlalu, mbak Riyana
duduk bersandar dan menghela nafas panjang. Aku diam.
Suratnya di
berikan padaku, aku langsung membacanya...
Assalamu'alaikum,
Ukhti
Riyana, jika surat ini sampai ditangan ukhti, ini adalah surat ke empat
kalinya saya menanyakan hal yang sama. Yaitu, alasan mengapa ukhti
mengembalikan lamaran saya. Harusnya dari awal anti menyertakan
alasannya agar saya tidak bertanya-tanya. Tiga kali saya kirim surat ke
Tegal, tapi tidak ada balasan. Saya sempat telfon ke rumah ukhti, ibunda
anti yang mengangkat telfon dari saya. Ternyata beliau mengenali saya
setelah saya sebutkan nama. Kami berbincang kira-kira 15 menit. Alasan
ukhti adalah ada di ayahanda anti. Benarkah demikian? Afwan, bukannya
saya tidak percaya dengan pernyataan ibu anti. Hanya saja saya ingin
ukhti sendiri yang mengatakannya lewat balasan surat ini. Surat yang
sengaja saya kirim ke Jakarta, agar langsung sampai di tangan ukhti.
Saya mengharap balasan dari ukhti.
Wassalamu'alaikum..
Ttd,
Nurul
Hilal
Aku bengong. Kaget sih.
"aku tidak yakin Lin..."
lirih mbak Riri.
Aku pergi ke kamar. Dan kembali ke ruang tamu
dimana mbak Riri duduk.
Ku serahkan secarik kertas dan bolpoint.
"balas
mbak!"
Mbak Riri melongo melihatku menawarkan secarik kertas dan
bolpoint padanya.
Ia mengambil kertas dan bolpointnya dari
tanganku, ia pun menulis
Wa'alaikumsalam.
Datanglah
ke rumah, temui Abah dan Umi.
Wassalam
Seperti
biasanya. Mbak Riri tidak bertele-tele. Singkat, padat dan jelas.
...
Satu
minggu kemudian kata mbak Riri Uminya telfon, mengabarkan bahwa kemarin
sore mas Nurul datang ke rumah. Subhanallah, pemberani! Ini yang
namanya laki-laki. Aku ikut merinding.
"Lin, tadi aku telfon Umi,
jawaban Abah tetap tidak. Tidak ya tidak. Tidak bisa di ganggu gugat.
Keras sekali beliau..." mendengar cerita mbak Riri lagi-lagi aku
terbengong kebingungan. Ia menangis.
Aku berbalik badan, "mbak
Riyana, ini ku pinjamkan punggungku.. Menangislah sayang.."
Ia
bersandar di punggungku, "apa aku salah jika aku mencintainya Lin?"
tanya mbak Riyana.
"tidak mbak, tidak salah! Mbak bisa memintanya
untuk menunggu mbak... Bagaimana?" ujarku sekenanya.
"tidak Lin,
itu takkan pernah seorang Riyana lakukan. Aku tak ingin mengikatnya
dalam ikatan yang tidak direstui Allah..." ujarnya, kali ini terdengar
tegas meski masih sesenggukan.
Semuanya jadi hening. Aku diam.
Begitu juga dengan mbak Riyana. Lama sekali.
Punnggungku basah,
airmatanya mengalir deras..
"mbak.. mbak Riyana?", ku balikan
badan. Ternyata ia sudah pinsan. Wajahnya pucat sekali. Kali ini untuk
sementara ia hanya butuh minum obat.
...
Tiga hari kemudian
saat aku pulang dari kampus, ku dapati mbak Riyana menangis sesenggukan
dibalik pintu kamar sembari memegang sebuah kertas. Rupanya surat dari
mas Nurul. Berisi pengakuan yang sangat menyakitkan. Ia mundur. Mundur
dari penantiannya. Sebab, pak Mumtaz tak jua merestui. Sementara ia
sudah ingin mengakhiri masa laangnya. Secepatnya. Aku rasa ini tidak
salah.
Aku pergi meninggalkan mbak Riyana yang tengah menangis,
biarlah ia puas menangis..
"ishbir..ya ukhti" gumamku.
...
Mbak
Riyana di larikan ke Rumah Sakit yang ke dua kalinya dalam minggu ini.
Kali ini ia di temukan tergeletak di halte bus. Astaghfirullah...
Bapak
dan ibu Mumtaz kembali lagi ke Jakarta.
"Pak, bu, ini sudah
parah.."
Pernyataan itu membuat fikiranku semakin semrawud. Lalu
bagaimana dengan bapak dan ibu Mumtaz selaku orang tua mbak Riyana.
Sudah jelas sakit hatinya.
"Riyana sayang, ini ibu nak,,"
"ibu,,"
lirihnya. Kali ini mbak Riyana harus menjalani perawatan penuh di Rumah
Sakit.
Malam itu kami bertiga, aku, bapak dan ibu Mumtaz duduk di
kursi dekat ranjang mbak Riyana.
"kita harus cepat mencari orang
yang bersedia mencangkokan sumsum tulangnya untuk Riyana bu.." gagas pak
Mumtaz. Ibu Mumtaz hanya diam, tatapannya kosong.
Aku coba
berpendapat, "bila perlu, kita ikut memeriksakan diri.. Siapa tau cocok,
gimana pak bu?"
Bapak dan ibu Mumtaz mengangguk.
...
Kurang
lebih sudah dua minggu mbak Riyana di Rumah Sakit, mendapat pengawasan
penuh oleh petugas kesehatan.
Pagi itu bapak dan ibu Mumtaz aku
minta istirahat ke kos saja, mereka terlihat lelah sekali.
Aku
duduk di depan kamar mbak Riyana ketika seorang perawat masuk mengganti
flabot infus yang tengah habis. Tiba-tiba ia berteriak sembari lari
memanggil dokter. Aku bingung, dan masuk kamar. Mbak Riyana pinsan,
jatuh di lantai. Bodohnya aku tak menjaganya, malah duduk di luar.
Setelah
mbak Riyana di angkat ke ranjang, dokter memeriksa.
"tadi saya
temukan ini ditangannya mbak.." ujar mbak perawat sembari memberikan
kertas kecil, sepertinya itu sobekan buku diary mbak Riyana. Aku memang
sengaja membawanya kesini, agar mbak Riyana tidak kesepian.
...Riyana
tidak butuh sumsum tulang..Yang kini Riyana butuhkan adalah pasangan
tulang rusuk yang akan menguatkan Riyana..
Astaghfirullah!!
Bapak
dan ibu Mumtaz datang ba'da dhuhur. Ku serahkan kertas kecil itu,
mereka membacanya dan kuceritakan kejadian tadi. Ibu Mumtaz menangis,
sedangkan pak Mumtaz justru pergi.
"apa yang bisa kami lakukan
suster?" tanyaku pada mbak perawat yang merawat mbak Riyana saat kami
sama-sama makan siang di kantin.
"psikologis juga mempengaruhi lho
mbak.." katanya.
Sorenya aku pulang. Sesampainya di kos masih
saja aku teringat kata-kata tadi. Psikologis.
"Mas Nurul, yang
di rahmati oleh Allah.Mbak Riyana sakit, kurang lebih sudah dua minggu
mbak Riyana di rawat. Beliau terkena leukimia.
Kiranya
bersedia, datanglah ke Rumah Sakit Pusat.
>>Lina,
teman mb Riyana satu wisma" tulisku dalam sebuah sms. Aku
mendapatkannya dari kampus, untung nomornya masih aktif. Tapi tak ku
dapati balasan smsnya.
...
Malam itu suasana agak tegang,
mbak Riyana menangis. Kami bingung apa sebabnya.
Dokter
memeriksanya.
"pak, bu, kondisi bathinnya tertekan.. Untuk saat
ini saya harap kita semua mampu menyeimbangkan kondisi bathinnya. Dia
butuh dukungan penuh" ujarnya.
Kami bertiga diam. Setelah dokter
pergi, ku dengar ribut kecil antara bapak dan ibu Mumtaz. Ku dengar nama
mas Nurul juga di sebut.
...
Paginya, ada tamu istimewa,
mas Nurul datang. Subhanallah.
Ibu Mumtaz menyambutnya dengan
gembira, sementara pak Mumtaz masih di mushalah Rumah Sakit sedari
shalat subuh tadi.
Mas Nurul tidak kuat di dalam lama-lama, ku
lihat airmatanya mengalir seketika melihat mbak Riyana terbujur lemah
tak berdaya dengan beberapa alat yang membantunya mempertahankan hidup.
Ku ikuti ia keluar dan duduk di kursi depan kamar.
"dia sering
bercerita tentang mas Nurul.. Bagaimana perasaannya terhadap
njenengan.."
"jalannya terlalu penuh liku, ini bukan masalah
apa-apa, tapi masalahnya ada di sebuah restu. Saya tidak bisa berkutik
ketika orangtuanya tidak merestui. Saya pun tidak akan berlama-lama
menanti sedangkan saya sudah bernadzar menikah setelah di terima kerja.
Biarlah penantian saya padanya usai. Toh menikah dengan orang yang kita
cinta itu kan hanya sebuah kemungkinan." ujar mas Nurul, airmatanya
masih mengalir.
“ikhlaskah?” tanyaku.
“itu urusan Allah…
saya hidup mengikuti takdir, bukan takdir yang mengikuti saya. Saya ikut
Allah, bukan Allah yang ikuti kemauan saya”.
Tak lama kemudian
pak Mumtaz datang setelah di jemput ibu Mumtaz. Mas Nurul menyalami
beliau. Beliau tersenyum dan masuk ke kamar mbak Riyana.
Sekitar
30 menit pak Mumtaz keluar menemui mas Nurul, sementara ibu Mumtaz di
dalam.
"jadilah pasangan tulang rusuk yang cocok untuk putriku,
Nurul..." pernyataan pak Mumtaz membuatku kaget. Mas Nurul pun diam
seribu bahasa, mungkin ia bingung.
"Ya. Nikahi putri kami.." ujar
pak Mumtaz lagi, kali ini lebih langsung ke intinya. Subhanallah..
Malam
itu mbak Riyana terlihat begitu gembira, karena besoknya ia
melangsungkan pernikahan. Meski harus dalam kondisi berbaring di ranjang
besi.
Kamis pagi itu terlihat senyum ceria di wajah-wajah kami;
dokter, perawat juga ikut membantu persiapan. Ibu Mumtaz mendandani mbak
Riyana. Ia cantik sekali.
Pukul 09.00wib mas Nurul datang bersama
keluarganya yang baru datang dari Semarang, tempat kelahiran mas Nurul.
Segeralah di mulai.
Doa baarakah terdengar di ruangan itu. Aku
terharu. Subhanallah mereka sudah halal.
Pagi itu hingga malam,
mas Nurul berada di samping mbak Riyana. Ia juga shalat di samping
ranjang mbak Riyana yang menjadi makmumnya.
Ku lihat ia juga
membaca buku untuk mbak Riyana.
Jumat sebelum subuh, kami (aku,
bapak dan ibu Mumtaz) kembali kerumah sakit. Menghindari macet.
Ku
lihat mbak Riyana tidur di sofa sebelah ranjang besi itu, tepat di
pangkuan suaminya. Tak lama mas Nurul bangun, ia kagok melihat kami.
"setelah
ia meminta shalat malam tadi, Riyana meminta pindah dari tempat
tidurnya pak, bu.. Dan terlelap di pangkuan saya". Ujar mas Nurul salah
tingkah.
Kami tersenyum geli.
Kulihat mas Nurul dengan
lembut membangunkan istrinya setelah terdengar adzan subuh.
"Riyana..
Bangun sayang.."
Beberapa kali suaranya terdengar keras,
"Riyana... Riyana.. Ri, bangun Ri.. Riyana!!"
Innalillahi wa inna
ilaihi rajiun...
Mbak Riyana kembali ke rahmatullah…
Mas
Nurul memeluk wanita mungil yang sedari tadi ada di pangkuannya. Ibu dan
bapak Mumtaz duduk lemas di lantai dan menangis. Sementara aku pergi
keluar memanggil dokter.
Mbak Riyana, selamat jalan...
Puisi BJ. Habibie untuk Istri Tercinta
Sebenarnya
ini bukan tentang kematianmu, bukan itu...
Karena aku tahu bahwa
semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian
adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk
pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak
sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar
dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja,
lalu
rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti
tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau
tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti
kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku
selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau
ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak
mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka
mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka
sadari bahwa kau lah yang menjadikan aku kekasih yang baik,
mana
mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi
kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku
arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat
jalan,
Kau dari-NYA, dan kembali pada-NYA,
Kau dulu tiada
untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang,
cahaya
mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari
surgaku...
BJ HABIBIE...
nice story . . .
BalasHapus