Minggu, 19 Februari 2012

RIYANA


Sepupu ukhti Dina, putri sulung dari budhe katanya. Ia calon guru. Namanya Riyana, biasa di panggil mbak Riri. Mahasiswi di UIN Jakarta semester 7. Dia kakak kelasku... Dan subhanallah kami akrab.
Orangnya mungil, cantik lagi. Cantiknya dari dalam lho, katanya salah satu rahasianya ada di air putih yang ia minum secara teratur, kurang lebih 2 liter per hari.

Kami satu wisma, satu kamar pula. Ya. Tadinya mbak Riyana satu kamar dengan ukhti Dina, dan alhamdulillah ukhti Dina mendapat beasiswa ke Mesir. Jadi aku yang memang lagi cari kamar baru, eh mendaratlah aku di kamar mungil ini.

Malam itu ku rasa kondisi bathin mbak Riyana tengah terguncang.
"Aku bingung Lin...
Kadang aku menyesali takdirku, mengapa harus tidak lebih awal aku lahir.hehe...

Saat kuliah akhir semester satu dulu aku mengikuti bedah buku Cinta Apa Nafsu, karya mbak Afifah Afra. Tanpa di sangka aku diminta jadi moderator dadakan. Lho kok bisa ya Lin, kenapa?? Kamu pasti kaget Lin. Aku lebih-lebih.

Ceritanya, sang moderator terkena musibah di perjalanan. Innalillahi.. Dompetnya kecopetan, eh tangannya juga kena pisau si pencopet. Sebagian dari panitia menyusul ke rumah sakit. Sebagian lagi di aula tempat seminar. Membujukku tentu, agar mau jadi moderator. Salah satu di antara sekian banyak panitia, ada yang satu kelas denganku, tentu kenal, dan tau aku agak pinter ngomong. Aku bisa gugup, tanpa persiapan. Gak mau malu-maluin diri sendiri ah.

Eh, ketua panitianya datang langsung meminta tolong, kasihan Lin kayaknya dia memang kebingungan.
"saya tidak memaksa, ukhti.. jika pun saya yang harus jadi moderator, tidak apa-apa. Hanya saja, saya mempertimbangan mbak Afifah Afra nya, beliau akhwat. Apa pantas bersanding dengan saya, berdua di depan audience yang tidak sedikit jumlahnya. Saya rasa, kami akan sama-sama kagok." terangnya.
Ok. Akhirnya setelah lobi yang agak lama, aku mengiyakan. Udah deh, alhamdulillah akhirnya berjalan dengan lancar, gak sia-sia juga. Aku seneng bisa bantu. Dan setelahnya dari seminar, ya kami jadi kenal. Dia beda fakultas sih, aku keguruan, sedangkan dia di D3 Akuntansi. Dua tahun lebih tua dariku. Saat aku menginjak awal semester 3, ia lulus.

Singkat cerita ajah deh ya Lin, ada perasaan yang menyusup di hati. Memang, kuakui dari sejak seminar itu. Wew! ini cinta apa nafsu yah Lin?hehe...
Dia kerja di luar kota hingga sekarang. Eh, di suatu hari yang cerah di pertengahan semester 4, angin sepoi-sepoi. Hehe,,
Pak pos datang, membawa surat.

Nurul Hilal
Jl. Apel I No. 13 Jajar, Laweyan, Surakarta

Aku deg-degan Lin, langsung.Pelan-pelan ku buka. Inti dari suratnya, mas Nurul meminangku Lin. Ya Allah, aku lemes. Deg-degan. Seneng.

Istikharoh cinta, aku di beri waktu satu bulan, tapi jika dua/tiga minggu sudah cukup, aku di minta membalas suratnya. Sebelumnya ku sampaikan pula pada Umi. Alhamdulillah, responnya bagus. Umi sangat antusias.
Tiap malam menjelang istirahat, aku shalat dua rakaat. Ku serahkan pilihan terbaik untukku menurutNya. Istikharohnya kudu netral Lin, gak boleh ada unsur yang mendukung diantara menerima atau tidak. Itu pesan dari Umi.

Dua minggu pertama, aku merasa yakin. Tapi Umi bilang, yakinkan lagi. Ya sudah.
Minggu ketiga,
Kok ragu ya? Kok jadi bingung ya?
Ternyata Abah tidak merestui Lin.

Umi coba bicara dengan beliau, dan Abah mengatakan tidak. Sekali tidak tetap tidak. Keras memang.
Masih kuliah.
Abah memang bukan orang yang terlalu mempertimbangkan masalah pendidikan, atau pekerjaan untuk jadi pendamping putrinya. Paling tidak, bisa membimbing, bisa makan untuk sehari-hari lah dan halal, urusan agama sudah jelas jadi no.1. Orangnya harus baik, sayang padaku dan keluarga. Namun ya itu tadi, alasannya hanya satu. Aku masih kuliah. Semester 4 lagi. Katanya masih muda sekali.

Nurut tha Lin?
Umi sudah antusias, tapi Abah tidak. Percuma Lin.
Umi menawarkan bagaimana jika untuk tunangan dulu, menikahnya setelah wisuda, atau di semester akhir. Aku langsung menolak alternatif yang Umi berikan. Bukan aku tak cinta. Bukan!
Namun jaraknya terlalu lama. Akan lebih banyak mudharatnya. Prinsipku gitu Lin, jarak khitbah ke pernikahan ya jangan terlalu lama. Ini masalah hati sih Lin. Setan itu masuknya gak pake pamit lho..

Minggu ke empat, aku semakin bingung. Mau pilih yang mana? Di hasil istikharoh dua minggu pertama, atau diminggu ke tiga???

Ya Allah, tuntun hatiku..
Assalamu'alikumAkhi.
Bismillah, dengang mengharap ridha Allah
Saya kembalikan pinangan akhi. Afwan.
Wassalamu'alaikum

Jauh-jauh, dari Tegal ke Surakarta, cuma gitu tok yang aku tulis. Saat itu lagi libur semesteran, jadi aku ngirim suratnya dari rumah. To the poin. Singkat, padat dan jelas. Bukan masalah ongkos kirim atau harga perangko, tapi nulis segitu aja udah nangis, mengharu biru, apalagi satu folio? Bisa oedem nih mataku. Dan itupun menghabiskan banyak kertas karena tulisannya luntur kena airmata. Hiks..

Aku dihadapkan pada dua pilihan, antara patuh dan cinta.
Abah, durhakalah aku jika dalam diriku tak kau temui maumu. Abah sayang, Riyana hanya ingin patuh padamu. Riyana ikut maumu saja.

Antara patuh dan cinta.

Aku bingung Lin, aku berusaha ikhlas. Ya, aku ikhlas.
Eh... Tak lama kemudian hatiku berbisik, "Riyana, kamu itu gak ikhlas! Gak ikhlas!"
Aku memilih untuk pergi tak mendengarkan suara hatiku itu Lin, dan berteriak; "hei hati kecilku!!! Aku tidak tau apa itu ikhlas! Huh!"

Mas Nurul... Cintaku padamu mampu terkalahkan oleh usaha patuhnya putri terhadap ayahnya. Tanpa restu beliau aku takkan melangkah.

Ini hanya masalah waktu. Mungkin belum jodoh. Hm... Aku juga tau Lin, mas Nurul tidak mungkin mau lama-lama membujang. Apalagi menungguku? Mustahil. Lagi pula, aku tidak rela jika ia mati dalam keadaan membujang. Bukannya mendoakan, namun yang namanya mati juga datangnya gak pamit, ya kan Lin?
Ketika ia tersenyum bahagia, aku juga bahagia. Meski aku tak tau, apakah aku atau bukan aku yang membuatnya tersenyum.

Tidak ada kekhawatiran jika membaca Q.S An Nur ayat 26.. Wanita yang baik ya untuk laki-laki yang baik, dan sebaliknya.

Ia akan dapat yang terbaik baginya dan bagi Allah. Begitu juga dengan aku, aku akan mendapatkan yang terbaik bagiku dan bagiNya." jelas mbak Riri panjang lebar.
...............................................................................................................................................................
Aku diam, teringat dulu cerita ukhti Dina saat kami bergerombol di taman kota. Sama persis.
Mbak Riri menunduk lama. Lama sekali.

"mbak?... mbak Riyana?..." Panggilku. Mbak Riyana tetap diam sembari menunduk.

Tiba-tiba ia tergeletak dengan darah yang mengalir melalui lubang hidungnya. Aku segera keluar mencari bantuan. Malam itu malam minggu, banyak dari kami yang pergi sekedar refreshing. Aku baru sadar, kami hanya berdua. Ada becak, aku berteriak memanggilnya.
...
Perjalanan ke Rumah Sakit, mbak Riyana belum juga sadar. Sementara darahnya terus keluar.
Akhirnya, kami sampai di Rumah Sakit. Aku lari ke IGD,

"suster, tolong kakak saya..tolong.." teriakku setelah tiba-tiba masuk tanpa permisi. Mereka awalnya bingung, tapi kemudian segera keluar membawa brankar.

Setelah mendapat pertolongan pertama. Tangan kirinya terpasang selang infus yang terhubung beserta flabotnya.
Mbak Riyana di pindah ke ruang perawatan, kenanga no. 5.

"mbak keluarganya?" tanya seorang perawat.
"saya Lina. Kami satu kamar di kos mbak" jawabku masih terbata-bata.
"mbak bisa hubungi keluarganya?"

Aku bingung. Selama ini mbak Riyana selalu melarang aku menghubungi keluarganya saat ia kambuh. Aku bingung!

"ini penting lho mbak, kami butuh keluarganya. Saya rasa pasien juga demikian."

Tanpa pikir panjang, aku segera menelfon Pak Mumtaz dan mengabarkan apa adanya kondisi mbak Riyana.

Malam itu aku tidur di samping kanan mbak Riyana berbaring. Dan paginya aku ijin dari perkuliahan.
Kira-kira pukul 11.30 wib, bapak dan ibu Mumtaz datang dari kampung. Subhanallah. Mereka membuat airmataku mengalir...

Sore itu, ibu Mumtaz memintaku mengantarnya ke toko buah. Sementara pak Mumtaz standby di kamar mbak Riyana, alhamdulillah sudah siuman.
"kata dokter Riyana terkena leukimia. Ibu tidak menyangka nduk..."
pernyataan ibu Mumtaz membuatku lemas. Astaghfirulah mbak Riyanaku terkena leukimia??

Dua hari berlalu, mbak Riyana sudah diijinkan pulang. Setelah satu hari pulang Umi dan Abahnya pulang ke kampung.
"cah ayu, ibu sama bapak pulang dulu.. Jaga mbak Riyana yah?" ujar ibu Mumtaz padaku,
"Umi, Abah... Riyana baik-baik saja kok, jangan khawatir.." tutur mbak Riyana. Kemudian kami mengantar hanya sampai di depan stasiun.
...
Dua minggu berlalu, ada pak pos datang membawa surat untuk mbak Riyana. Kebetulan aku yang tanda tangan bukti penerima. Ku lihat pengirimnya, tidak asing bagiku.
Setelah ku serahkan amplop warna putih itu, mbak Riyana mulai membacanya. Kurang lebih 10 menit berlalu, mbak Riyana duduk bersandar dan menghela nafas panjang. Aku diam.
Suratnya di berikan padaku, aku langsung membacanya...

Assalamu'alaikum,
Ukhti Riyana, jika surat ini sampai ditangan ukhti, ini adalah surat ke empat kalinya saya menanyakan hal yang sama. Yaitu, alasan mengapa ukhti mengembalikan lamaran saya. Harusnya dari awal anti menyertakan alasannya agar saya tidak bertanya-tanya. Tiga kali saya kirim surat ke Tegal, tapi tidak ada balasan. Saya sempat telfon ke rumah ukhti, ibunda anti yang mengangkat telfon dari saya. Ternyata beliau mengenali saya setelah saya sebutkan nama. Kami berbincang kira-kira 15 menit. Alasan ukhti adalah ada di ayahanda anti. Benarkah demikian? Afwan, bukannya saya tidak percaya dengan pernyataan ibu anti. Hanya saja saya ingin ukhti sendiri yang mengatakannya lewat balasan surat ini. Surat yang sengaja saya kirim ke Jakarta, agar langsung sampai di tangan ukhti. Saya mengharap balasan dari ukhti.
Wassalamu'alaikum..

Ttd,
Nurul Hilal

Aku bengong. Kaget sih.

"aku tidak yakin Lin..." lirih mbak Riri.

Aku pergi ke kamar. Dan kembali ke ruang tamu dimana mbak Riri duduk.

Ku serahkan secarik kertas dan bolpoint.
"balas mbak!"

Mbak Riri melongo melihatku menawarkan secarik kertas dan bolpoint padanya.
Ia mengambil kertas dan bolpointnya dari tanganku, ia pun menulis

Wa'alaikumsalam.
Datanglah ke rumah, temui Abah dan Umi.
Wassalam

Seperti biasanya. Mbak Riri tidak bertele-tele. Singkat, padat dan jelas.

...

Satu minggu kemudian kata mbak Riri Uminya telfon, mengabarkan bahwa kemarin sore mas Nurul datang ke rumah. Subhanallah, pemberani! Ini yang namanya laki-laki. Aku ikut merinding.

"Lin, tadi aku telfon Umi, jawaban Abah tetap tidak. Tidak ya tidak. Tidak bisa di ganggu gugat. Keras sekali beliau..." mendengar cerita mbak Riri lagi-lagi aku terbengong kebingungan. Ia menangis.
Aku berbalik badan, "mbak Riyana, ini ku pinjamkan punggungku.. Menangislah sayang.."
Ia bersandar di punggungku, "apa aku salah jika aku mencintainya Lin?" tanya mbak Riyana.

"tidak mbak, tidak salah! Mbak bisa memintanya untuk menunggu mbak... Bagaimana?" ujarku sekenanya.

"tidak Lin, itu takkan pernah seorang Riyana lakukan. Aku tak ingin mengikatnya dalam ikatan yang tidak direstui Allah..." ujarnya, kali ini terdengar tegas meski masih sesenggukan.
Semuanya jadi hening. Aku diam. Begitu juga dengan mbak Riyana. Lama sekali.
Punnggungku basah, airmatanya mengalir deras..

"mbak.. mbak Riyana?", ku balikan badan. Ternyata ia sudah pinsan. Wajahnya pucat sekali. Kali ini untuk sementara ia hanya butuh minum obat.
...

Tiga hari kemudian saat aku pulang dari kampus, ku dapati mbak Riyana menangis sesenggukan dibalik pintu kamar sembari memegang sebuah kertas. Rupanya surat dari mas Nurul. Berisi pengakuan yang sangat menyakitkan. Ia mundur. Mundur dari penantiannya. Sebab, pak Mumtaz tak jua merestui. Sementara ia sudah ingin mengakhiri masa laangnya. Secepatnya. Aku rasa ini tidak salah.
Aku pergi meninggalkan mbak Riyana yang tengah menangis, biarlah ia puas menangis..
"ishbir..ya ukhti" gumamku.
...

Mbak Riyana di larikan ke Rumah Sakit yang ke dua kalinya dalam minggu ini. Kali ini ia di temukan tergeletak di halte bus. Astaghfirullah...
Bapak dan ibu Mumtaz kembali lagi ke Jakarta.

"Pak, bu, ini sudah parah.."
Pernyataan itu membuat fikiranku semakin semrawud. Lalu bagaimana dengan bapak dan ibu Mumtaz selaku orang tua mbak Riyana. Sudah jelas sakit hatinya.

"Riyana sayang, ini ibu nak,,"

"ibu,," lirihnya. Kali ini mbak Riyana harus menjalani perawatan penuh di Rumah Sakit.

Malam itu kami bertiga, aku, bapak dan ibu Mumtaz duduk di kursi dekat ranjang mbak Riyana.
"kita harus cepat mencari orang yang bersedia mencangkokan sumsum tulangnya untuk Riyana bu.." gagas pak Mumtaz. Ibu Mumtaz hanya diam, tatapannya kosong.
Aku coba berpendapat, "bila perlu, kita ikut memeriksakan diri.. Siapa tau cocok, gimana pak bu?"
Bapak dan ibu Mumtaz mengangguk.
...

 Kurang lebih sudah dua minggu mbak Riyana di Rumah Sakit, mendapat pengawasan penuh oleh petugas kesehatan.

Pagi itu bapak dan ibu Mumtaz aku minta istirahat ke kos saja, mereka terlihat lelah sekali.
Aku duduk di depan kamar mbak Riyana ketika seorang perawat masuk mengganti flabot infus yang tengah habis. Tiba-tiba ia berteriak sembari lari memanggil dokter. Aku bingung, dan masuk kamar. Mbak Riyana pinsan, jatuh di lantai. Bodohnya aku tak menjaganya, malah duduk di luar.

Setelah mbak Riyana di angkat ke ranjang, dokter memeriksa.
"tadi saya temukan ini ditangannya mbak.." ujar mbak perawat sembari memberikan kertas kecil, sepertinya itu sobekan buku diary mbak Riyana. Aku memang sengaja membawanya kesini, agar mbak Riyana tidak kesepian.
...Riyana tidak butuh sumsum tulang..Yang kini Riyana butuhkan adalah pasangan tulang rusuk yang akan menguatkan Riyana..

Astaghfirullah!!

Bapak dan ibu Mumtaz datang ba'da dhuhur. Ku serahkan kertas kecil itu, mereka membacanya dan kuceritakan kejadian tadi. Ibu Mumtaz menangis, sedangkan pak Mumtaz justru pergi.

"apa yang bisa kami lakukan suster?" tanyaku pada mbak perawat yang merawat mbak Riyana saat kami sama-sama makan siang di kantin.

"psikologis juga mempengaruhi lho mbak.." katanya.

Sorenya aku pulang. Sesampainya di kos masih saja aku teringat kata-kata tadi. Psikologis.
 "Mas Nurul, yang di rahmati oleh Allah.Mbak Riyana sakit, kurang lebih sudah dua minggu mbak Riyana di rawat. Beliau terkena leukimia.
Kiranya bersedia, datanglah ke Rumah Sakit Pusat.
>>Lina, teman mb Riyana satu wisma" tulisku dalam sebuah sms. Aku mendapatkannya dari kampus, untung nomornya masih aktif. Tapi tak ku dapati balasan smsnya.
...

Malam itu suasana agak tegang, mbak Riyana menangis. Kami bingung apa sebabnya.
Dokter memeriksanya.

"pak, bu, kondisi bathinnya tertekan.. Untuk saat ini saya harap kita semua mampu menyeimbangkan kondisi bathinnya. Dia butuh dukungan penuh" ujarnya.
Kami bertiga diam. Setelah dokter pergi, ku dengar ribut kecil antara bapak dan ibu Mumtaz. Ku dengar nama mas Nurul juga di sebut.
...

Paginya, ada tamu istimewa, mas Nurul datang. Subhanallah.
Ibu Mumtaz menyambutnya dengan gembira, sementara pak Mumtaz masih di mushalah Rumah Sakit sedari shalat subuh tadi.

Mas Nurul tidak kuat di dalam lama-lama, ku lihat airmatanya mengalir seketika melihat mbak Riyana terbujur lemah tak berdaya dengan beberapa alat yang membantunya mempertahankan hidup. Ku ikuti ia keluar dan duduk di kursi depan kamar.

"dia sering bercerita tentang mas Nurul.. Bagaimana perasaannya terhadap njenengan.."

"jalannya terlalu penuh liku, ini bukan masalah apa-apa, tapi masalahnya ada di sebuah restu. Saya tidak bisa berkutik ketika orangtuanya tidak merestui. Saya pun tidak akan berlama-lama menanti sedangkan saya sudah bernadzar menikah setelah di terima kerja. Biarlah penantian saya padanya usai. Toh menikah dengan orang yang kita cinta itu kan hanya sebuah kemungkinan." ujar mas Nurul, airmatanya masih mengalir.

“ikhlaskah?” tanyaku.

“itu urusan Allah… saya hidup mengikuti takdir, bukan takdir yang mengikuti saya. Saya ikut Allah, bukan Allah yang ikuti kemauan saya”.

Tak lama kemudian pak Mumtaz datang setelah di jemput ibu Mumtaz. Mas Nurul menyalami beliau. Beliau tersenyum dan masuk ke kamar mbak Riyana.

Sekitar 30 menit pak Mumtaz keluar menemui mas Nurul, sementara ibu Mumtaz di dalam.

"jadilah pasangan tulang rusuk yang cocok untuk putriku, Nurul..." pernyataan pak Mumtaz membuatku kaget. Mas Nurul pun diam seribu bahasa, mungkin ia bingung.

"Ya. Nikahi putri kami.." ujar pak Mumtaz lagi, kali ini lebih langsung ke intinya. Subhanallah..
Malam itu mbak Riyana terlihat begitu gembira, karena besoknya ia melangsungkan pernikahan. Meski harus dalam kondisi berbaring di ranjang besi.

Kamis pagi itu terlihat senyum ceria di wajah-wajah kami; dokter, perawat juga ikut membantu persiapan. Ibu Mumtaz mendandani mbak Riyana. Ia cantik sekali.
Pukul 09.00wib mas Nurul datang bersama keluarganya yang baru datang dari Semarang, tempat kelahiran mas Nurul. Segeralah di mulai.

Doa baarakah terdengar di ruangan itu. Aku terharu. Subhanallah mereka sudah halal.

Pagi itu hingga malam, mas Nurul berada di samping mbak Riyana. Ia juga shalat di samping ranjang mbak Riyana yang menjadi makmumnya.

Ku lihat ia juga membaca buku untuk mbak Riyana.

Jumat sebelum subuh, kami (aku, bapak dan ibu Mumtaz) kembali kerumah sakit. Menghindari macet.
Ku lihat mbak Riyana tidur di sofa sebelah ranjang besi itu, tepat di pangkuan suaminya. Tak lama mas Nurul bangun, ia kagok melihat kami.

"setelah ia meminta shalat malam tadi, Riyana meminta pindah dari tempat tidurnya pak, bu.. Dan terlelap di pangkuan saya". Ujar mas Nurul salah tingkah.

Kami tersenyum geli.

Kulihat mas Nurul dengan lembut membangunkan istrinya setelah terdengar adzan subuh.
 "Riyana.. Bangun sayang.."
Beberapa kali suaranya terdengar keras, "Riyana... Riyana.. Ri, bangun Ri.. Riyana!!"

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...
Mbak Riyana kembali ke rahmatullah…

Mas Nurul memeluk wanita mungil yang sedari tadi ada di pangkuannya. Ibu dan bapak Mumtaz duduk lemas di lantai dan menangis. Sementara aku pergi keluar memanggil dokter.
Mbak Riyana, selamat jalan...

Puisi BJ. Habibie untuk Istri Tercinta

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu...
Karena aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja,
lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari bahwa kau lah yang menjadikan aku kekasih yang baik,
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,
Kau dari-NYA, dan kembali pada-NYA,
Kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

Selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

Selamat jalan, calon bidadari surgaku...

BJ HABIBIE...

1 komentar: